Antara Banten dan Jogja (3)

Tak banyak yang bisa kulakukan. Karena waktu itu tak memiliki alat komunikasi (handphone). Tapi segala cara pun pernah kucoba. Salah satunya meminta SMS ke semua teman yang kala itu sudah memiliki handphone. Supaya tidak merugikan, terlebih dahulu biasanya kutanya terlebih dahulu "Ada gratisan SMS gak?" Jika ada barulah kuminta, tapi kalau enggak ada gerartisan berarti tak jadi minta.

Inilah perjuangan yang kulakukan. Kadang sesekali kutanya ke pemilik handphone terkait balasan dari SMS yang kukirimkan. "Gimana ada balasan belum?.." dan tak jarang jika sms balasan itu selalu datangnya telat juga, bahkan hingga berhari-hari baru ada balasan. Mungkin dianya lagi bokek alias enggak punya uang.

Dari semua pesan yang kudapat, sebisa mungkin kutulis. Sebab tak ada dokumentasi yang bisa kujadikan alat selain catatan. Tak heran jika sms yang pernah kuterima darinya bisa mencapai beberapa lembar. Sampai saat ini, tulisan-tulisan itu masih tersimpan rapi dan selalu kujaga. Bahkan foto yang dulu ia berikan sampai saat ini masih ada.

Aku dan dia tak bertemu selama 7 bulan. Komunikasi yang bisa kulakukan sangat terbatas dan aksesnya juga cukup sulit. Tapi dibalik itu semua, aku semakin merasa penasaran dan menyimpan rasa yang tak mampu kubendung lagi. Selama waktu 7 bulan itu, kugunakan hanya untuk menunggu dan menunggu.

Menunggu waktu yang tepat, itulah yang selalu kulakukan. Hingga tibalah dimana aku berkunjung ke Jakarta, dan ketika pulang dari Jakarta kusempatkan untuk bertemu di Stasiun Rangkasbitung. Karena waktu itu ia sibuk ngajar, janjian yang seharusnya pukul 09 pagi, sampai molor hingga waktu dzuhur. Untuk waktu itu tetap sabar menunggu.

Akhirnya rasa rindu selama 7 bulan terobati sudah. Meskipun banyak sekali ungkapan yang belum tersampaikan, dan waktu 5 jam yang kami gunakan serasa belum cukup. Setelah ngobrol beberapa saat di stasiun dan melepas rindu, Aku diajaknya untuk menemui sang kakak di salah satu pesantren yang ada di Rangkasbitung.

Setelah diperkenalkan dan ngobrol panjang lebar aku pun pamit. Sebelum aku pergi dan menginggalkan tempat ia mondok, tak di duga, dengan reflek ia mengenggam tanganku dan memberikan sebuah lipatan kertas. "jangan dibuka sekarang, tapi nanti kalau sudah sampai di rumah.."

Angkutan yang ku tunggu sudah tiba, aku pun langsung masuk dan dengan cepat angkutan itu membawa ku meninggalkannya. Ketika itu dengan refleknya kulambaikan tangan kepadanya, dan iapun membalasnya, bahkan senyuman yang menyertai lambaian tangannya tetap terlihat meski dari kejauhan.

Aku mati kutu dan tak bisa berkata apa-apa ketika di hadapannya. Tapi begitu angkutan itu semakin jauh, SMS dan ucapan dari luapan perasaan ini kutumpahkan seketika itu juga.

Bersambung..


Google Plus
    Komentar Lewat Blog
    Komentar Lewat Facebook

0 komentar:

Posting Komentar