Surat Cinta

Untukmu Calon Suamiku,

Sudah sewindu aku menjadi kekasihmu, sudah sewindu aku mencoba menjadi yang paling mengerti dirimu meski belum seperti ayah dan ibumu, sudah sewindu aku menantikan hari bahagia ini. Hari yang selalu diimpikan perempuan normal seusiaku, ya..kamu melamarku. Aku sempat memikirkan beberapa hal sebelum aku mengatakan jawabanku padamu.

Kupikir sewindu cukup untuk memastikan bahwa kamu memang benar berjenis kelamin laki-laki. Oke mungkin ini pikiran yang konyol, tapi tidak terlalu salah mencari kepastian ini sebelum menikah. Ya..aku memang perlu tahu jika kamu memang benar laki-laki yang belum menikah.

Rasanya tak perlu banyak waktu untuk bisa membaca kamu. Dua bulan masa pendekatan adalah waktu yang cukup membuatku yakin kamu pantas untuk kukenal secara lebih dalam setelah kesepakatan ikatan yang biasa mereka sebut “jadian”. Sewindu ini aku makin paham, bukan hanya kamu, tapi bagaimana lingkungan teman, kerabat dan keluargamu.

Dalam sepertiga malamku bercengkrama bersama Sang Maha Dewa aku sempat bertanya, seberapa tulus aku bisa memberikan semua cintaku padamu, seberapa ikhlas aku mampu mencurahkan seluruh hidupku hanya untukmu, seberapa tahan aku menahan ego yang selama ini kurasakan sangat mendominasi perjalanan cinta kita selama sewindu?. Apakah kamu nahkoda yang baik untukku, yang tak sekedar menyuruh melainkan juga menuntunku. Apakah aku bisa mendengar dan menerima semua keputusanmu?, apakah aku bisa kamu bimbing menuju surga seperti yang Tuhan janjikan jika istri patuh pada suaminya. Sang Maha Dewa pun memberi jawaban lewat keyakinan hati yang datang seiring waktu yang kujalani bersamamu.

Sebelum bertemu denganmu aku adalah perempuan biasa, tidak kaya. tidak cantik, dan tidak populer, aku sering ketakutan menghadapi hal-hal baru dalam hidupku, aku merasa mentalku masih seperti anak SD kelas satu. Denganmu aku belajar, belajar untuk mencintai hal baru, belajar beretika dengan baik saat menghadapi keluarga dan temanmu, belajar menerima segala pro dan kontra mengenai kita yang mereka lontarkan kepadaku. Sadar hal itu amat penting untuk menuju kehidupan yang baru bersama kamu, dan sampai kapanpun aku bersedia mencurahkan seumur hidupku untuk terus belajar tentang hal itu. Kamu adalah lelaki pilihanku, sudah seharusnya aku memantaskan diri bukan hanya untukmu, tapi juga keluarga dan teman-temanmu. Bersamamu aku lebih yakin untuk “pintar” secara baik dalam belajar.

Bagaimana kalau kita sama-sama sepakat untuk saling jujur. Mengenai apapun yang kelak berpotensi menjadi ancaman bagi bahtera kita, mengenai kamu dan aku yang dulu, mengenai rahasia-rahasia yang mungkin jika terdengar akan sesakit seperti teriris sembilu. Aku perempuanmu siap menerima itu, asal semua yang ku dengar benar, tidak serong, tidak dusta, dan tidak mengada-ada. “Mulai dari nol ya” itu juga tepat saat dijalankan oleh kita, bukan hanya dipakai petugas Pertamina pada pembelinya. Aku hanya khawatir akan ada penyesalan yang membuat luka dan akan mengkerdilkan jiwa pemaaf kita saat kita tidak jujur sebelum memutuskan membina rumah tangga. Pahamilah bahwa kejujuran adalah milik manusia yang pemberani saja, dan aku tahu itu kamu, calon suamiku.

Aku bangga menemanimu mendaki, bukan seperti penggoda-penggodamu yang hadir saat kamu sudah dipuncak. Jadi saat kamu “digulingkan” oleh mereka yang berkhianat, akupun siap menemani lagi untuk memanjat. Miskin bukan alasan untuk bisa ditinggalkan, tapi miskin juga bukan alasan untukmu bisa bermalas-malasan. Saat yang lain berlomba-lomba mendapatkan calon suami yang kaya raya, aku menyibukkan diri untuk menjadi wanita kaya. Sayang, aku tidak masalah andai ditengah jalan kita diberi cobaah hidup yang susah, tapi diawal memintaku jangan mengajakku untuk hidup susah. Sebelum menjadi istrimu aku bekerja mati-matian untuk membahagiakan mereka yang berjuang membesarkanku, jangan sampai kamu yang baru menemaniku sewindu dengan mudah mengajakku hidup susah ketika menjadi istrimu, menikah tidak sebercanda itu.

Sayang..
Tentu kamu harus paham bagaimana konsep istri menurutku, jika sepakat, aku pasti akan lebih yakin berkata “ya” saat kamu memintaku untukmu. Bagiku suami dan istri bukanlah tentang siapa yang harus lebih kaya, lebih pintar dan lebih populer, karenanya biarkan aku menjadi istrimu yang super kreatif. Sayang, aku mohon jangan batasi aku untuk terus belajar menjadi seseorang yang pantas menjadi tokoh yang diidolakan kamu dan anak kita kelak. Ingatkan aku jika aku menyalahi komitmen kita diawal, tegur aku dengan santun saat aku lalai akan kodratku sebagai istri dan ibu, beri kepercayaan aku untuk bekerja dan mengejar cita-citaku. Manusia punya mimpi, begitu juga dengan perempuanmu ini, aku bukan seorang yang bisa tidur pulas untuk bisa menjamah mimpiku, aku butuh kamu untuk mendukungku juga sebagai “alarm” kejutku saat aku sudah keluar jalur terlalu jauh.

Sayang, apakah kamu sepakat denganku?
Jika iya, aku bersedia menjadi pendamping hidupmu.

Google Plus
    Komentar Lewat Blog
    Komentar Lewat Facebook

0 komentar:

Posting Komentar