Menjadi Pemenang

Sewaktu kecil, saya sering disuruh ibu untuk menggiling beras supaya jadi tepung atau biji kopi yang selesai disangrai (digoreng tanpa minyak) dan bentuknya sudah hitam disuruh digiling pakai mesin supaya jadi halus.

Mesin penggiling tepung dan kopi ini ada di kampung sebelah. Harus pagi-pagi kalau mau kesana. Kalau orangnya sudah sibuk, dijamin gak akan bisa ditunggu. Belum lagi dilayani dengan kurang ramah. Jangankan senyum, ditanya juga tidak. Muka masam.

Tak hanya itu, meski sedang terburu-buru, jangan harap bisa direspon cepat. Mereka Itu tuh kayak gak niat punya mesin dan semaunya saja. Mungkin karena saya diangapnya anak kecil kali ya, dan gak ngerti dengan sistem pelayanan pelanggan. Jika hal ini tidak dipahami sejak saat itu, mana mungkin saya masih ingat dengan jelas semua perlakuan tersebut. Service itu nomor wahid dalam sistem jual-beli atau jasa.

Inilah kisah lama yang pernah saya alami dan masih ingat betul bagaimana mereka melayani pelanggannya. Sehingga ketika mendapat perlakuan demikian, tekad yang saya ungkapkan ketika itu "Suatu saat nanti,
Saya tidak boleh seperti itu..."

Pengalaman yang tidak mengenakan seperti di atas, kembali saya alami. Tapi kali ini di warung pinggir jalan. Tak seberapa sih, hanya meminta obat batuk yang rasa jeruk dan jahe. Saya minta coba diambilkan rasa jeruk, pas dicek rupanya tulisannya untuk batuk dan tenggorokan gatal. Akhirnya saya minta diambilkan rasa jahe.

Eh ibu-ibu yang punya tokonya marah. Ini terlihat dan terdengar dari ucapannya "Hih..". Tadinya mau saya tinggalin saja, tapi sudah terlanjur. Padahal, hak saya juga untuk tidak jadi membeli. Saya bisa saja membalas dengan yang lebih parah. Tapi, demi kebaikan semua, saya diam dan mengalah. Bahkan setelah membeli dua obat batuk tersebut saya ucapkan terima kasih.

Kenapa tak sedikitpun saya respon marahnya? Padahal saya laki-laki dan bisa lebih untuk membalasnya? Lagi-lagi sepontanitas saya paham betul, bahwa diam itu lebih baik dan mengalah untuk menang itu benar adanya. Jika saya balas seketika itu juga, bisa-bisa terjadi keributan dan cekcok adu mulut.

Saya akan menang dicekcok tersebut. Si punya toko akan malu dan mungkin saja pembelinya juga akan berkurang. Kalau benar-benar terjadi, siapa yang menyesal? Pasti dua-duanya juga menyesal. Hanya karena masalah sepele bisa sampai ribut dan membuat orang ramai menonton. Menang dari sesuatu yang tidak penting, buat apa. Tidak pantas dijadikan kebanggan bukan? Hanya memuaskan nafsu sesaat.

Ketika bisa menahan diri dari hal yang sebenarnya kita mampu membalas, tetapi memilih diam, berarti sejatinya kita telah menang. Selamat!
__

Google Plus
    Komentar Lewat Blog
    Komentar Lewat Facebook

0 komentar:

Posting Komentar